Banyuwangi milik-rakyat.com Program “Bunga Desa” (Bupati Ngantor di Desa) yang diinisiasi oleh Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya mendekatkan layanan pemerintahan kepada masyarakat akar rumput.
Melalui kunjungan langsung ke desa-desa, program ini ingin membangun citra kepemimpinan yang merakyat dan responsif terhadap kebutuhan warga.
Namun, di balik pendekatan populis ini, terdapat problem konseptual dan implementatif yang patut dikritisi secara tajam, terutama jika kita mempertanyakan apakah program ini sungguh merupakan simbol kedekatan atau sekadar cermin dari ketidakberesan internal tata kelola daerah.
Secara retoris, “Bunga Desa” menjanjikan pemerintahan yang mendengar langsung aspirasi rakyat. Namun dalam praktiknya, pendekatan yang bersifat seremonial ini kerap kali hanya menghasilkan euforia sesaat tanpa menyentuh akar persoalan struktural.
Kehadiran Bupati dan rombongan elite birokrasi di desa sering kali dibingkai secara simbolik dan penuh pencitraan, sementara proses pengambilan kebijakan tetap berlangsung top down.
Fenomena ini menunjukkan adanya jurang antara narasi kedekatan dan substansi perubahan kebijakan. Kedekatan yang dibangun tidak selalu paralel dengan perbaikan kualitas pelayanan publik yang berkelanjutan.
Program ini juga menyingkap wajah lain dari birokrasi yang masih bersandar pada pendekatan personalistik alih-alih sistemik. Ketika kepala daerah harus “turun langsung” ke desa untuk menegur atau memantau pelayanan dasar, hal itu justru menjadi indikasi lemahnya sistem supervisi dan akuntabilitas internal di tingkat bawah.